Write a Review

Sign of Love

Chapter 1


The meeting of two personalities is like the contact of two chemical substances: if there is any reaction, both are transformed. -Carl Jung


Acara lelang malam ini tidak tampak sebagaimana acara “lelang” yang seharusnya. Kalau bukan karena Philip dan Zayden yang menahannya, Alex ingin segera keluar dari ruangan menjijikan ini. Berbagi udara dengan orang-orang yang tidak mempunyai setitik rasa kemanusiaan, membuat perutnya bergejolak karena mual. Seiring berjalannya acara, Alex dapat menyimpulkan bahwa korban-korban yang sedang diperjual belikan benar-benar seseorang yang lemah, lebih-lebih lagi seseorang yang tidak berdaya.

Seperti pada kejadian perempuan yang pertama kali dibawa masuk ke atas panggung. Perempuan itu terjual dengan harga murah, minat para tamu akan perempuan itu menyurut ketika yang ter-rantai tiba-tiba mengalami kejang hebat sampai mulutnya mengeluarkan busa. Itu semua disebabkan oleh trauma sewaktu kecil dulu, dia berkali-kali sudah dilecehkan oleh ayah kandungnya sendiri. Sampai pada akhirnya dia dibuang begitu saja dan menyebabkan berakhir di tempat penampungan. Lalu untuk perempuan yang kedua, terjual sedikit lebih mahal dari yang sebelumnya. Seorang pria tua tambun yang berada tidak jauh dari meja Alex yang membelinya. Ketika ditarik turun dari panggung, perempuan itu berjalan dengan terpincang-pincang. Selembar bahan tipis yang dijadikan sebagai pakaian perempuan itu tersingkap, menunjukan bahwa kaki sebelah kanannya merupakan kaki buatan.

“Pria gendut yang tadi pasti menang banyak. Perempuan itu bisa menjadi pelayan selaligus budak seks untuknya.” Philip menumpu siku kanannya di meja, tubuh sedikit menghadap ke belakang untuk menatap iri ke arah pria tambun yang sedang memegang rantai. Di akhir rantai itu melilit pada leher seorang perempuan sedang menahan tangis.

“Aku yakin, di rumah si gendut masih banyak budak seks ilegal lainnya.” Zayden menimpali.

Ibu jari Alex yang terletak di atas pinggir gelas berputar-putar di permukaannya. “Apa bedanya dengan pelelangan ini,” katanya setelah menghabiskan cairan tequilla dalam sekali tegak.

Philip dan Zayden saling tatap. Mata bulat besar milik Zayden terbesit kecanggungan, dia lantas menolehkan wajah ke kanan dan kiri seperti orang linglung. Philip yang menangkap gestur bersalah yang dikeluarkan olehnya mulai menjelaskan. “Orang-orang yang dijual di pelelangan ini legal Lex. Tercatat oleh negara. Ketika kau membelinya dari pelelangan ini, dia sudah menjadi milikmu, hakmu. Dia tidak bisa lari ataupun kabur. Karena polisi justru akan mencarinya untuk dikembalikan lagi kepadamu.”

Alex menekan dahi di antara kedua alisnya. Kepalanya berdenyut sakit. Akhir-akhir ini dia lebih sering menghabiskan waktu di barak bersama para jet tempurnya dibandingkan di mansion. Jadi dia lupa, kaum-kaum kapitalis seperti ini masi bernafas dan berkembang biak secara luas. Dia lupa, bahwa dirinya pun termaksud di dalam golongan itu.

“Hei! Lihat sisi Baiknya. Kau bisa menggunakannya sebagai apapun.”

“Itu menjijikan.” Alex menatap Philip dan Zayden secara bergantian, “Itu seperti kau berhubungan badan dengan pelayanmu sendiri, bukankah itu menjijikan? Terlebih lagi mereka cacat. Terakhir aku cek, aku tidak memiliki fetish itu.”

Zayden dan Philip menganga mendengarnya. Bukankah kalimatmu yang barusan itu sangat kejam? Selain secara eksplisit mengatakan perilaku ini menjijikan, tidakkah tuan muda ini juga memaksudkan-nya juga bahwa berhubungan badan dengan orang cacat itu menjijikan? Tapi meskipun perkataan Alex tadi terdengar dan menyinggung banyak perasaan tamu bangsawan lainnya. Mereka yakin tidak ada yang berani menegur Alex secara terang-terangan.

Suhu yang berada di sekitar mereka menurun. Aura disekeliling para tuan muda itu seketika mendingin di tengah-tengah ruangan yang semakin larut semakin panas. Ada suara orang bersiul melengking kencang dari arah belakang. Membuat tiga pria tampan itu terganggu. Secara serempak mereka menoleh ke sumber suara, meilirik pria tambun yang baru saja membeli budak dari pelelangan ini berdiri dari duduknya, sambil menunjuk-nunjuk ke arah panggung. Meski masih merasa terganggu, mau tidak mau arah mata mereka mengikuti pusat perhatian yang berada di tengah-tengah panggung.

Lampu sorot terang yang tadinya hanya menyorot ke tengah panggung kini bergerak cepat, seakan-akan pihak penyelenggara ingin membuat kondisi rungan bertambah dramatis. Entah karena berada di tengah ruangan yang euforianya dibuat sedemikan rupa. Alex merasa antisipasi di dalam dirinya meninggkat pesat. Mata birunya terpaku ingin menegaskan sosok yang sekarang telah jatuh bersimpuh di tengah panggung. Sosok itu belum bisa terlihat dengan jelas, dan Alex mengutuk lampu sorot yang masih terus saja berpindah-pindah mengelilingi ruangan.

Sampai satu kilatan lampu sorot hanya tertuju pada sosok itu. Meninggalkan yang lain dalam keadaan gelap yang panjang.

***

Pertama kali ikatan matanya terlepas, dia kesulitan mengatur banyaknya sinar lampu yang merengsek masuk ke kornea secara serentak. Dia mengerjap-ngerjap, guna untuk memperjelas penglihatannya yang mengabur akibat terlalu lama diikat kain hitam. Ntah apa yang membuat sekumpulan orang di hadapannya justru tambah berseru senang.

Tubuhnya tersentak, dia bergetar tidak berhenti sama seperti teriakan-teriakan akan nominal uang yang juga tak henti menyalak. Dia meringkuk, membawa kedua lututnya menyentuh dahi, membuat tubuhnya terlipat sekecil mungkin. Napasnya memburu dan dadanya berdegup kencang ketakutan. Dia mengigit bibirnya untuk menahan tangis ketika surai belakangnya dijenggut kasar. Kepalanya mendongak, secara paksa melihat samar kerumunan yang berada di depan panggung melalui bola matanya yang terasa panas karena bertemu langsung dengan lampu sorot yang menyala terang.

Dia menyipitkan kelopak mata juga semakin menekan bibir bawahnya kuat-kuat. Leher putih jenjang sampai ke tulang selangka tersingkap dari kain tipis yang melilit tubuhnya, itu berkilauan akibat keringat serta aliran air mata yang bercucuran. Anehnya, tindakan itu seperti memancing napsu lautan manusia di hadapannya lebih buas lagi. Gendang telinganya berdenging sakit, mendengar keributan yang terjadi.

“1 juta dollar.”

Matanya membelalak, terkejut akan siapa gerangan yang rela mengelurkan uang sebanyak itu untuk dirinya. Seisi ruangan juga seketika terdiam saat mendengar harga yang fantastis hanya untuk seorang budak.

“3 juta dollar.” Sahut seseorang yang sedari tadi hanya terdiam. Mata birunya menatapnya tajam. Telunjuknya bermain di permukaan gelas bening yang berisi cairan tequilla seharga jutaan dollar.

“4,5 juta dollar.”

Decakan kagum serta tarikan napas terdengar menggema di seluruh ruangan. Dia tidak dapat melihat dengan jelas siapa kedua pria tersebut, dan dia hanya dapat menggelengkan kepalanya panik untuk menahan kedua pria itu meninggikan harga.

Pria bermata biru itu terkekeh sambil membenarkan letak duduknya, “5 juta dollar.”

Lampu sorot yang menyala terang mati total bergantikan dengan chaya dari lampu keristal mewah yang menggantung di langit-langit. Detik itu juga tatapan mata mereka berdua beradu. Warna dari sepasang bola mata itu seperti perpaduan dari cerahnya pagi bertemu kelamnya malam.

Si malam menggeleng kencang, tangannya menunjuk kepada diri sendiri, beralih ke bibir, kemudian menyilangkan jemari. ‘Semoga, dia mengerti tanda ini.’ Batinnya putus asa.

Philip yang melihat gelagat aneh dari sosok indah di atas panggung mulai menyikut perut temannya yang kehilangan akal, “Pst! Hei Lex! Jangan gila. Pasti ada yang cacat dari indahnya orang itu.”

Alex diam saja. Fokusnya masih berporos pada sosok yang terus saja menggeleng keras. Suara berbisik yang berisik memenuhi ruangan. Memuji, menyumpahi, kagum, menghina, tidak ada yang didengarkan oleh pria yang sedang menatap lurus kepada langit malam yang sedang hujan deras. Ada keinginan kuat di dalam dirinya untuk menghentikan hujan itu dan menggantinya dengan malam yang penuh akan bintang.

Seperti baru menemukan kembali suaranya, sang pembawa acara bertanya, “Tidak ada yang menawar lagi?” mikrofon yang digunakannya membuat pertanyaan itu menggemuruh ke seluruh ruangan.

Pemuda yang menjadi pusat perhatian menggeleng lagi, obsidannya menatap tepat ke arah pria yang sedari tadi tidak putus menatapnya penuh minat.

“Kalau begitu, 039 resmi dibeli oleh tuan..”

Alex masih betah memperhatikan pergerakan yang dibuat pemuda kurus itu dengan susah payah, karena tangannya terlilit rantai. Tangan pemuda itu terangkat menunjuk kepada diri sendiri, lalu berpindah ke arah bibir, setelah itu menunjuknya berkali-kali. Kemudian dia menyilangkan jari telunjuknya sambil menggeleng keras bersamaan dengan suara pembawa acara yang berteriak senang.

“Tuan Alex Armanto!”

Philip dan Zayden saling bertatap separuh tidak percaya dan tidak terima. 5 juta dollar untuk seorang budak sama saja membuang 5 juta dollar ke tempat sampah.

Alex langsung saja berdiri dari duduknya, membenarkan letak tuksedo-nya sambil menunggu pria berbadan besar menarik kasar seseorang yang baru saja dia beli menuruni tangga panggung. Gemuruh tepukan tangan mengisi ruangan. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang bertepuk tangan dengan tidak minat, benci karena telah kalah darinya.

Bunyi berisik yang mengganggu dari gesekan rantai semakin terdengar. Philip dan Zayden yang sekarang dapat melihat sosok itu dari jarak dekat termangu takjub. Apa benar terdapat suatu kecacatan dari insan seindah ini?

Dua pria besar yang bertugas memberikan rantai ke tangan Alex menunduk hormat. Setelah rantai sudah berpindah tangan, itu berarti sosok yang sedang bersimpuh di hadapannya kini telah mutlak menjadi miliknya.

Tubuh kecil nan kurus itu semakin menggigil. Alex lantas melepas jasnya, menekuk sebelah lutut untuk mensejajarkan posisi untuk memakaikan jas pada bahu ringkih yang hanya terbalut kain tipis.

Philip dan Zayden yang melihat itu, angkat tangan, tidak peduli dan tidak mau ikut campur lagi. Mereka tahu seberapa agung keluarga Armanto, tapi Alex justru membeli seorang budak dari pelelangan.

“Siapa namamu?” Tanya Alex selembut mungkin. Namun karena terbiasa berbicara dengan etika dan tanpa rasa takut, nada datar pada kalimatnya tidak terdengar sama sekali. Membuatnya hanya mendapatkan gelengan kepala samar.

Tidak menyerah di situ saja, Alex mengambil serbet putih yang tersedia di meja, kemudian turun untuk mendekat lagi. Pelan-pelan dia meletakan serbet itu di lantai, tepat di hadapan pemuda yang gemetar. Menggigit pinggir jari telunjuknya dengan keras sampai berhasil menghasilkan darah segar. “Ini, gunakan untuk menulis namamu.”

Alex pikir dia sudah melakukan cara yang terbaik untuk berhadapan pada sosok ringkih di hadapannya ini. Seperti memberitahu bahwa tidak ada yang perlu ditakuti darinya, dari pada melukaimu aku lebih baik melukai diri sendiri. Tapi sosok itu justru memandangnya tambah ketakutan.

Alex memutuskan untuk menangkap jari-jemari pemuda itu dan menaruhnya di atas tangannya sendiri, “Gerakan. Aku akan mengikutimu.” Kontras dari kulit coklat sehat miliknya ketara sekali saat bertumpuan dengan kulit pucat itu.

Sambil gemetar pemuda itu mulai menggerakan tangan Alex. Takut jika kesabaran dari tuannya akan habis dan dia akan dijual kembali.

Pelan darah dari telunjuknya membentuk huruf demi huruf yang bentuknya tidak dapat sempurna.

‘S U G A.'

Tatapan mereka bertemu. Ntah menatap untuk yang keberapa kali tapi langit malam itu masih sama indahnya bagi Alex. Dia tahu sekarang bahwa pemuda di hadapannya bernama Suga, dan pemuda juga.. bisu.


Continue Reading Next Chapter

About Us

Inkitt is the world’s first reader-powered publisher, providing a platform to discover hidden talents and turn them into globally successful authors. Write captivating stories, read enchanting novels, and we’ll publish the books our readers love most on our sister app, GALATEA and other formats.